TEMPO.CO , Yogyakarta: Rektor
Universitas Gadjah Mada, Dwikorita Karnawati tidak sepakat dengan wacana
penghapusan skripsi sebagai syarat meraih gelar S1. Dwikorita berpendapat
skripsi menjadi bagian penting sekaligus tak terpisahkan dalam proses pembelajaran
di perguruan tinggi yang berbasis riset. "Riset jadi salah satu cara
pembuktian fakta dan hipotesis," kata Dwikorita saat dihubungi Tempo pada
Sabtu, 30 Mei 2015.
Pakar geologi dan pengurangan risiko bencana ini mengimbuhkan penulisan skripsi
juga mengajarkan prinsip penting lain yang menjadi unsur utama dalam riset,
yakni integritas dan cara berfikir ilmiah.
Setiap riset memerlukan pondasi pelaksanaan prinsip kejujuran dalam proses
pengembangan instrumen, pengumpulan data, analisis data hingga merancang
kompleksitas argumentasi ilmiah. "Ini menjadi bagian dari akuntabilitas
akademik," kata dia.
Dwikorita mengaku sudah menerima klarifikasi dari Menteri Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir mengenai isu penghapusan skripsi. "Menteri
tidak menyampaikan S1 bisa tanpa skripsi," kata dia.
Rektor
Universitas Negeri Yogyakarta, Rokhmat Wahab juga menilai skripsi penting untuk
syarat sarjana S1. Dia menganggap skripsi berguna melengkapi kapasitas sarjana
dalam menganalisis masalah sekaligus berfikir metodologis. "Jangan
memanjakan mahasiswa (skripsi dihapus), kualitas sarjana S1 Indonesia bisa
menurun," kata Rokhmat.
Adapun Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Edi Suwandi
Hamid mengatakan penentuan skripsi sebagai syarat kelulusan sarjana Strata Satu
(S1) atau tidak merupakan wilayah otonomi kampus.
Dia juga mengaku sudah menerima klarifikasi tentang tidak adanya rencana
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi mengeluarkan keputusan yang
menghapus skripsi sebagai syarat kelulusan S1.
Namun, menurut Edi, selama ini tidak ada juga aturan dari Dirjen Dikti yang
mewajibkan pengerjaan skripsi untuk syarat kelulusan mahasiswa S1. Hal ini
berbeda dengan penyusunan thesis dan disertasi yang memang sejak lama diwajibkan
oleh Dirjen Dikti sebagai syarat kelulusan sarjana S2 dan S3."Skripsi ada
di kewenangan masing-masing kampus," kata Edi.
Karena itu, dia berpendapat, setiap kampus, baik negeri dan swasta, bisa saja
tidak mewajibkan penyusunan skripsi bagi calon sarjana S1. Dia mencatat
beberapa kampus negeri sekalipun ada yang sudah memberlakukan syarat kelulusan
bisa tanpa skripsi. "Di luar negeri, banyak negara yang kampusnya tidak
mewajibkan skripsi bagi mahasiswa S1," kata Edi.
Salah satu kebijakan dari Dirjen DIKTI yang menuai
kontroversi adalah kewajiban membuat makalah di jurnal ilmiah sebagai syarat
kelulusan di program sarjana dan pascasarjana. Kebijakan tersebut tertuang
dalam Surat Edaran DIKTI Nomor SK : 152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012 yang naskah
lengkapnya dapat dilihat di sini.
Surat
Edaran Dirjen DIKTI yang menuai kontroversi
Kebijakan tersebut menuai pro dan kontra, lengkap
dengan perdebatan seru di kalangan civitas akademika dan pemerhati pendidikan
di Indonesia. Mari kita lihat sekilas alasan atau argumentasi dari
masing-masing kubu.
Kubu pro sangat mendukung kebijakan ini karena tanpa
ada paksaan, mahasiswa tidak akan pernah membuat makalah. Kadang “tangan besi“
membuat kita tidak cengeng atau bisa berupaya dengan keras, walau mungkin
terpaksa. Dengan kerja keras, termasuk dengan membuat makalah, maka mahasiswa
ditempa dengan etos dan budaya ilmiah. Lagian, sumber pembuatan makalah pun
bisa diambil dari riset kecil-kecilan, apalagi dari hasil tugas akhir atau
skripsi. Intinya, jika tidak dipaksa, mahasiswa justru dininabobokan dan
terlena. Padahal negara lain sudah lari dalam hal jumlah publikasi, termasuk
Malaysia yang dijadikan rujukan dalam surat edaran Dirjen DIKTI tersebut.
Selain itu, kubu pro merasa bahwa perguruan tinggi
adalah pabrik riset dan publikasi, bukan pabrik sarjana semata. Saat ini,
masyarakat sering mempertanyakan peran perguruan tinggi dalam memberdayakan dan
menerapkan IPTEKS demi pembangungan nasional dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Kampus pun dianggap menara gading yang terisolasi dari masyarakat.
Dan salah satu cara mengatasi tuduhan tersebut adalah melalui penyebaran IPTEKS
berupa makalah dalam jurnal ilmiah.
Namun, pihak yang berseberangan, yakni kubu kontra
tidak kalah sengitnya menolak kebijakan tersebut. Argumentasi atau alasannya
pun masuk akal. Satu pertanyaan yang dilontarkan oleh kubu kontra: Apakah
menulis makalah menjadi jaminan bahwa lulusannya bisa bekerja dan bermanfaat
bagi kepentingan masyarakat? Jika tidak, untuk apa buat makalah. Namun kubu
kontra tidak menganggap makalah itu tidak penting, namun keharusan tersebut
belum menjadi priorotas, atau masih banyak masalah pendidikan tinggi lainnya
yang perlu dibenahi.
Pertanyaan lainnya dari kubu kontra: Apakah sarana dan
prasarana yang dibutuhkan untuk memuat makalah tersebut sudah memadai? Mutu
perguruan tinggi itu sangat beragam, termasuk kemampuannya dalam mengelola
jurnal. Jika sarana dan prasarana tersebut tidak memadai, maka kebijakan
tersebut bisa menjadi bottle neck. Jadi yang lebih prioritas didahulukan adalah
peningkatan budaya ilmiah, termasuk peningkatan kemampuan metodologi dan
publikasi ilmiah bagi perguruan tinggi yang secara mayoritas tidak sama seperti
PTN-PTN ternama di Indonesia yang sedikit jumlahnya.
Andaikan kebijakan itu dipaksakan, kubu kontra membuat
kalkulasi berapa jumlah makalah yang dihasilkan selama setahun oleh ratusan
ribu lulusan. Apakah jumlah jurnal ilmiah saat ini bisa menampungnya. Okelah,
setiap perguruan tinggi memang bisa menerbitkan jurnal ilmiah seperti
penjelasan Dirjen DIKTI dan Mendiknas sesudah SE itu menuai pro dan kontra.
Namun, lagi-lagi, apakah upaya penerbitan jurnal itu bisa dilakukan oleh 3000
lebih PT di Indonesia, dengan segala permasalahannya. Yang dikhawatirkan oleh
kubu kontra adalah munculnya jurnal abal-abal, atau para pembuat jasa makalah-
atau sering disebut sebagai ghost writer atau shadow scholar- muncul bergentayangan.
Kondisi tersebut justru kontraproduktif terhadap upaya membangun etika ilmiah
di dunia kampus.
Singkat kata, niat baik belum tentu berdampak baik
jika faktor lainya tidak dipertimbangkan. Kewajiban membuat makalah sebenarnya
tidak dipermasalahkan oleh kubu kontra jika diberlakukan untuk mahasiswa
tingkat master dan doktor. Pemberlakukannya untuk lulusan sarjana setidaknya
perlu ditunda karena masih banyak masalah lain yang lebih mendesak untuk
dibenahi di perguruan tinggi.
Sedari dulu, semua lulusan S-1
diwajibkan untuk membuat sebuah karya tulis yang bernama skripsi sebagai syarat
untuk mendapatkan gelar sarjana. Saya hanya mahasiswa disebuah Perguruan Tinggi
Negeri di Bandung, saat ini sedang berada di semester VIII. Sedang disibukkan
dengan skripsi, melihat berita ini rasanya jadi agak malas untuk melanjutkan
skripsi saya. hehehe Entah harus merasa senang atau sedih mengetahui wacana
yang sedang hangat diperbincangkan oleh seluruh sivitas akademik disemua
perguruan tinggi ini. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, membuat sebuah skripsi
adalah sebuah tantangan untuk saya, sesuatu yang saat ini saya perjuangkan dan
mungkin akan saya banggakan di waktu yang akan datang. Menristek dan Dikti, RI,
Muhammad Nasir merancang penghapusan skripsi di perguruan tinggi! Alasannya;
jual beli ijasah dan jiplak-menjiplak skripsi masih marak, semua disebabkan
atas nama kelulusan, cara-cara devian serupa ini memanglah menjadi momok di
perguruan tinggi. Kisah Penghapusan Skripsi di Perguruan Tinggi (Muhammad Armand,
Kompasianer) Penyusunan skripsi hanya akan dijadikan sebagai opsi untuk syarat
kelulusan program sarjana, sebagai gantinya selain penyusunan skripsi terdapat
opsi lain sebagai syarat kelulusan yaitu mengerjakan pengabdian di masyarakat
atau laporan penelitian di laboratorium. Hal ini juga menyangkut dengan
tridhrama perguruan tinggi, yaitu pembelajaran, penelitian dan juga pengabdian
masyarakat. Alasan dari dikeluarkannya wacana tersebut yaitu untuk
meminimalisir kecurangan-kecurangan dalam penyusunan skripsi tersebut,
khususnya menyangkut jasa penyusunan skripsi atau membeli skripsi yang di
lakukan mahasiswa. Wacana Menristek Opsionalkan Skripsi, Kabar Gembira Bagi
Mahasiswa S-1 (Liafit Nadia Yuniar, Mahasiswi dan Kompasianer) Penggalan dua
tulisan Kompasianer hanyalah sebagian kecil dari opini masyarakat terkait
mengenai penghapusan skripsi untuk syarat lulus untuk mahasiswa S-1. Seperti
yang saya tulis pada kolom judul, wacana ini bisa jadi baik atau buruk, ada
baiknya bila wacana ini kita lihat dari dua sisi. Namanya juga kebijakan yang
dibuat manusia, pasti akan ada dampak positif dan negatifnya. Lain halnya
dengan kebijakan Tuhan yang pasti baik untuk manusia. Lulus S-1 Tanpa Skripsi,
Solusi? Bukan tanpa alasan bila Menristek dan Pendidikan Tinggi ingin
menghilangkan skripsi. Selain karena faktor maraknya jual-beli skripsi atau
copy-paste skripsi. Faktor biaya juga mungkin beliau pertimbangkan, karena
beliau pernah merasakan suka-duka membuat sebuah skripsi saat masih berstatus
sebagai mahasiswa di Universitas Diponegoro. Banyak diantara teman-teman
seperjuangan saya yang merasa bahwa skripsi adalah sebuah beban. Mengerjakan
sebuah skripsi saat ini tidak cukup dengan biaya yang minim meskipun dikerjakan
sendiri (dengan cara yang jujur, tanpa copy-paste skripsi yang sudah ada atau
menggunakan jasa pembuatan skripsi). Karena diperlukan biaya untuk cetak
skripsi, belum lagi bila ada revisi dari dosen pembimbing. Bolak-balik ke
tempat nge-print sudah jadi rutinitas mahasiswa tingkat akhir. Ada yang bilang
membeli printer bisa jadi solusi, jadi tak perlu ke rental komputer yang
sediakan jasa print. Memang belinya tak butuh dana? Kemudian untuk beli tinta
dan kertas HVS, pasti perlu dana yang tidak sedikit kan? Belum untuk
pengeluaran lainnya, seperti membuat suvenir untuk responden (khusus untuk
metode kuantitatif dengan penelitian menggunakan kuisioner) sebagai ucapan
terimakasih telah berpartisipasi dalam pembuatan skripsi sang mahasiswa,
membeli buku untuk referensi, belum lagi biaya transportasi yang harus dikeluarkan
(ada rekan saya yang harus sering pulang pergi Bandung-Jakarta karena melakukan
penelitian disebuah perusahaan yang berpusat di Jakarta). Pokoknya banyak biaya
yang harus dikeluarkan untuk sebuah skripsi. Ditiadakannya skripsi sebagai
syarat lulus setidaknya bisa meringankan beban mahasiswa, serta mengurangi
penggunaan kertas HVS yang berarti menyelamatkan hutan, hanya saja bisa jadi
mimpi buruk bagi para penyedia jasa nge-print karena akan mengurangi pemasukan
mereka. Membuat skripsi untuk syarat menjadi sarjana sama saja seperti menyuruh
semua ayam betina untuk menghasilkan telur dengan berat dan ukuran yang sama.
Perlu diingat bahwa tidak semua mahasiswa berbakat dalam pembuatan sebuah karya
tulis (termasuk saya yang lebih senang membuat sebuah karya desain grafis atau
tulisan bebas di Kompasiana, hehehe). Melihat sebuah kalimat yang ditulis oleh
Liafit Nadia diatas: "... sebagai gantinya selain penyusunan skripsi
terdapat opsi lain sebagai syarat kelulusan yaitu mengerjakan pengabdian di
masyarakat atau laporan penelitian di laboratorium. Hal ini juga menyangkut
dengan tridhrama perguruan tinggi, yaitu pembelajaran, penelitian dan juga
pengabdian masyarakat.".
Saya rasa ini solusi yang cukup adil untuk
mahasiswa yang lebih senang melakukan observasi diluar ruangan ketimbang
menghabiskan waktu seharian diperpustakaan kampus untuk copy-paste skripsi yang
sudah ada. Bila wacana ini jadi terlaksana pada tahun ini, berarti saya sudah
bisa wisuda tanpa skripsi karena sudah melaksanakan pengabdian di masyarakat
selama bulan Pebruari 2015 dan sudah melakukan praktik job training
dibagian Public Relations sebuah perusahaan saat libur semester VI (karena saya
adalah mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Humas). hehehe Lulus S-1 Tanpa
Skripsi, Awal Kehancuran Perguruan Tinggi? Mungkin rasanya saya nampak lancang
bila mengatakan wacana penghapusan skripsi sebagai syarat untuk jadi sarjana
akan jadi awal kehancuran bagi perguruan tinggi. Tapi saya rasa itu akan
terjadi, meskipun tidak dalam waktu dekat. Skripsi yang dibuat dengan penuh
kesungguhan akan meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menganalisis sebuah
permasalahan sesuai bidang keilmuannya, selain itu pembuatan skripsi yang baik
dan benar menuntut mahasiswa untuk lebih sering membaca dan mencari referensi
(setidaknya intensitas membaca buku saya meningkat di semester akhir ini demi
skripsi saya, hehehe). Lalu masalah lainnya: bila pembuatan skripsi dihapuskan,
apa yang membedakan lulusan S-1 dan D-III selain lama kuliahnya? Skripsi-lah
yang membedakan sarjana dengan ahli madya, mahasiswa lulusan S-1 dituntut untuk
lebih memahami ilmu secara teoritis dan harus memiliki keahlian untuk
menganalisis. Tidak seperti lulusan diploma yang memang disiapkan untuk dunia
kerja sesuai dengan bidang keahlian yang dipelajari. Kalau skripsi dihapuskan,
mungkin sebaiknya sekalian saja hapuskan program pendidikan S-1 diseluruh
Perguruan Tinggi di Indonesia.
Ijazah S-1 palsu, jual-beli skripsi,
copy-paste skripsi, dan ketakutan-ketakutan lainnya dari Menristek dan
Perguruan Tinggi sehingga ingin meniadakan skripsi adalah kesalahan kita,
kesalahan masyarakat Indonesia. Tidak sedikit dari kita yang mengupayakan
segala cara agar memeroleh gelar sarjana dengan cara yang instan, supaya bisa
dapat kerja yang enak, supaya bisa menyematkan gelar setelah nama lengkap agar
bisa dihormati orang lain. Meskipun hati saya cenderung mendukung Pak Menteri
untuk tiadakan skripsi untuk lulus S-1, tapi skripsi sudah selayaknya jadi
bagian dalam proses menuju gelar sarjana. Adapun untuk menyiasati
kecurangan-kecurangan yang sudah berulangkali saya tulis diatas adalah dengan
menindak tegas para pelanggar, baik para pemalsu dan penyedia ijazah palsu,
pengguna layanan dan penyedia layanan pembuatan skripsi, dan para plagiat
skripsi.
Daripada menghapuskan skripsi, saya lebih setuju
pemerintah membuat undang-undang mengenai legalitas dan orisinalitas karya
tulis (tidak hanya skripsi, namun juga tesis dan disertasi), kemudian menghukum
para pelanggar dengan hukuman yang sangat berat sehingga ijazah palsu, jasa
pembuatan skripsi, dan plagiator skripsi benar-benar hilang dari Bumi Pertiwi.
Untuk tindakan jangka panjang, pemerintah juga harus mampu tanamkan budaya
hidup jujur sejak dini kepada generasi muda yang jadi garapan
Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah. Pentingnya menanamkan
nilai-nilai moral dengan tidak mengutamakan hasil akhir melainkan prosesnya,
karena skripsi adalah hasil sebuah proses. Memang bukan hal yang mudah, tapi
kalau terus dibiarkan, negeri ini akan jadi sarang pembohong, sarang penipu,
dan sarang pemalsu. Perketat Syarat untuk Mendirikan Sebuah Perguruan Tinggi!
Hal ini mungkin sedikit melebar dari judul, tapi ini rasanya cukup meresahkan dunia
pendidikan. Saat ini semakin banyak lahir berbagai perguruan tinggi baru, baik
dalam bentuk Sekolah Tinggi, Akademi, ataupun Politeknik. Saya sangat
mengapresiasi berbagai yayasan yang mengakomodir kebutuhan masyarakat akan
perguruan tinggi swasta, hanya saja saya tidak setuju apabila ada perguruan
tinggi yang menggunakan ruko dan kios untuk ruang perkuliahannya, bahkan ada
sebuah rumah yang dijadikan sebuah perguruan tinggi. Fenomena seperti ini
memperkuat pandangan saya bahwa semakin banyak orang yang mendewakan gelar,
baik sarjana ataupun ahli madya. Pada kenyataannya, jumlah lulusan
SLTA/sederajat masih lebih banyak ketimbang daya tampung perguruan tinggi baik
negeri ataupun swasta. Perguruan Tinggi Swasta (PTS) saat ini sudah menjadi
industri yang sangat menguntungkan, beberapa PTS terbaik di Indonesia mampu
menghasilkan keuntungan hingga milyaran rupiah setiap tahunnya, membuka banyak
lapangan pekerjaan untuk banyak orang. Pantas saja banyak yang tergiur untuk
dirikan PTS meskipun harus sewa ruko atau rumah kosong yang letaknya mudah
dijangkau. Bila pemerintah inginkan lulusan perguruan tinggi yang berkualitas,
seharusnya pemerintah juga menerapkan standar yang tinggi terkait dengan syarat
untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi. Jangan sampai ada perguruan tinggi,
baik itu Sekolah Tinggi, Akademi, ataupun Politeknik yang ruang perkuliahannya
'ngontrak' di ruko atau rumah kosong. Memang perlu investasi yang besar untuk
membangun sebuah perguruan tinggi yang berkualitas, supaya lulusannya juga
berkualitas. Tidak asal sarjana yang tidak jelas asal-usul perguruan tinggi
serta akreditasinya. Mohon maaf sebelumnya, tidak ada maksud saya memandang
rendah PTS yang bermarkas disebuah ruko, tapi pendidikan yang berkualitas mampu
hasilkan sumber daya manusia yang berkualitas juga, kan?
Telah kita ketahui bersama bahwa
syarat kelulusan seorang sarjana S-1 adalah dengan kewajiban bagi mahasiswa
untuk menyusun tugas akhir berupa skripsi. Skripsi itu sendiri merupakan
momokyang menakutkan bagi setiapmahasiswa semester akhir yang sudah akan lulus.
Namun pada tahun 2015 ini dengan kesan yang tiba-tiba Kementrian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (ristekdikti) memiliki wacana untuk
mengeluarkan kebijakan baru, yaitu tidak diwajibkannya penulisan skripsi
sebagai syarat kelulusan program sarjana S1. Penyusunan skripsi hanya akan
dijadikan sebagai opsi untuk syarat kelulusan program sarjana, sebagai gantinya
selain penyusunan skripsi terdapat opsi lain sebagai syarat kelulusan yaitu
mengerjakan pengabdian di masyarakat atau laporan penelitian di laboratorium.
Hal ini juga menyangkut dengan tridhrama perguruan tinggi, yaitu pembelajaran,
penelitian dan juga pengabdian masyarakat. Alasan dari dikeluarkannya wacana
tersebut yaitu untuk meminimalisir kecurangan-kecurangan dalam penyusunan
skripsi tersebut, khususnya menyangkut jasa penyusunan skripsi atau membeli
skripsi yang di lakukan mahasiswa. Wacana yang dikeluarkan oleh menristek-dikti
ini menimbulkan pro dan kontra dari beberapa kalangan, mereka memiliki argument
masing-masing yang mendasari pendapatnya tersebut. Kelompok yang pro dengan
wacana tersebut lebih banyak datang dari pihak mahasiswa sendiri, mereka
menyambut dengan senang wacana tersebut sebagai kabar gembira. Dengan munculnya
wacana tersebut, diharapkan mahasiswa yang lebih unggul dalam bidang penelitian
dapat mengembangkan potensinya tersebut tanpa harus dipaksa untuk menyususn
skripsi. Sama halnya dengan mahasiswa yang lebih unggul dan tertarik dalam
pengabdian masyarakat. Selain karena alasan tersebut, wacana ini dianggap mampu
memberantas kecurangan-kecurangan yang dilakukan mahasiswa dalam penyusunan
skripsi terkait dengan jasa-jasa penyusunan skripsi. Adanya penawaran dari jasa
penyusunan skripsi karena adanya permintaan dari mahasiswa yang merasa kesulitan
untuk menyusun tugas akhirnya tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut maka
untuk memotong mata rantai kecurangan-kecurangan dalam penyusunan skripsi
tersebut yaitu dengan cara tidak hanya menjadikan skripsi sebagai tugas akhir
mutlak yang harus diselesaikan mahasiswa program sarjana S-1. Toh, wacana ini
hanya menjadikan skripsi sebagai syarat opsional saja untuk meraih gelar
sarjana, bukan menghapuskan ataupun meniadakan skripsi. Hal ini sudah
diterapkan di beberapa kampus, meskipun masih banyak kampus yang mewajibkan
penyusunan skripsi sebagai tugas akhir mahasiswa S1. Misalnya saja Universitas
Indoneseia (UI) yang tidak mewajibkan skripsi menjadi tugas akhir mahasiswa
untuk meraih gelar sarjana, melainkan memberikan opsi tugas akhir yang
berbentuk lain. Dengan wacana seperti ini, setidaknya mahasiswa mampu dengan
leluasa dan tidak merasa terbatasi menentukan tugas akhir yang paling sesuai
dengan kemampuannya tanpa mengurangi urgensi dari tugas akhir tersebut. Melalui
wacana ini diharapkan kedepannya mahasiswa program sarjana benar-benar lulus
dan mendapatkan gelar sarjana berdasarkan kemampuan yang benar-benar dimiliki
dan dikuasainya yang sesuai dengan konsentrasi ilmu yang di dapatkannya selama
kuliah. Sehingga tidak ada lagi mahasiswa yang melakukan kecurangan-kecurangan
dalam penyusunan skripsi karena mereka merasa tertekan dan terbebani untuk
menyusun tugas akhir tersebut. Hingga akhirnya diharapkan akan terbentuk
sarjana-sarjana yang benar-benar berkompeten bukan sarjana abal-abal yang lulus
dan meraih gelar sarjana karena membeli skripsi dari jasa-jasa pembuatan
skripsi.
Menjawab Realitas Pro dan Kontra Skripsi Menjadi Opsi Syarat
Kelulusan Mahasiswa S1 Bukan hal yang tabu lagi jika skripsi memang sudah
dijadikan syarat kelulusan bagi mahasiswa. Namun, kenyataan yang sekarang
terjadi di tahun ini adalah ganti menteri, ganti kebijakan terutama kebijakan
di bidang pendidikan. Itu yang sedang terjadi di negeri ini. Hal ini diawali
dengan adanya wacana Kemenristekdikti opsionalkan skripsi sebagai salah satu
syarat kelulusan mahasiswa1 . Penyusunan skripsi hanya akan dijadikan sebagai
opsi untuk syarat kelulusan program sarjana, sebagai gantinya selain penyusunan
skripsi terdapat opsi lain sebagai syarat kelulusan yaitu mengerjakan
pengabdian di masyarakat atau laporan penelitian di laboratorium. Hal ini
selaras dengan tridhrama perguruan tinggi, yaitu pembelajaran, penelitian dan
juga pengabdian masyarakat. Alasan utama dari dikeluarkannya wacana tersebut
yaitu untuk meminimalisir kecurangan-kecurangan dalam penyusunan skripsi,
khususnya menyangkut jasa penyusunan skripsi atau membeli skripsi yang sering
dilakukan mahasiswa. Wacana yang dikeluarkan oleh Kemenristekdikti ini tentunya
sudah pasti menimbulkan pro dan kontra dari beberapa kalangan, mereka memiliki
argument masing-masing yang mendasari pendapatnya tersebut. Kelompok yang pro
dengan wacana tersebut tentunya lebih banyak datang dari kalangan mahasiswa
sendiri, mereka menyambut dengan senang wacana tersebut sebagai kabar gembira.
Dengan adanya wacana tersebut, diharapkan mahasiswa yang lebih unggul dalam
bidang penelitian dapat mengembangkan potensinya, tanpa harus dipaksa untuk
menyususn skripsi. Sama halnya dengan mahasiswa yang lebih unggul dan tertarik
dalam pengabdian masyarakat. Tanggapan kontra atas wacana ini datang dari Putra
Santoso yang merupakan dosen muda biologi dari Unand, beliau mangatakan bahawa
tidak tepat upaya mengubah syarat kelulusan dengan menghilangkan skripsi,
justru permasalahannya ada pada setiap individu mahasiswa sendiri yang perlu
adanya pengawasan ekstra dari pembimbing skrispsi2 . Beliau menambahkan
pengawasan ekstra oleh pembimbing skripsi mahasiswa sendiri perlu dilakukan
sejak awal menentukan judul karya penelitian. Pengawasan ini meliputi
pencegahan plagiarisme terhadap karya orang lain, baik itu berupa sedikit
kutipan maupun secara keseluruhan teks. 1
http://www.kompasiana.com/liafitnadia/wacana-menristek-opsionalkan-skripsi-kabar-gembirabagi-mahasiswa-s1_556280d3339373e03c6d0054
2 www.babel.antaranews.com Tanggapan yang selaras untuk tidak setuju dengan
adanya wacana tersebut adalah datang dari Ketua Komisi V Bidang Kesejahteraan
Masyarakat DPRD Sumatera Barat yakni Bapak Mohklasin mengatakan bahwa untuk
saat ini Indonesia masih memerlukan skripsi sebagai tugas akhir untuk mahasiswa
setingkat S13 . Beliau juga menambahkan jika skripsi tidak lagi dijadikan
syarat mahasiswa setingkat S1 untuk mendapatkan ijazah dan gelar maka nanti
dikhawatirkan akan membawa dampak kurang baik. Menurutnya, apabila ingin
memperbaiki pembelajaran selama ini, bukan malah menghapus salah satu
sistemnya, namun lebih kepada memperbaiki sistem- sistem yang sudah ada
sehingga mampu berjalan lebih baik dan pada tempatnya, karena dengan
penghapusan salah satu sistem tersebut yakni tidak mewajibkan skripsi sebagai
salah satu syarat kelulusan tidak akan menyelesaikan masalah pendidikan yang
dihadapi justru nantinya ini akan menambah masalah. Penghapusan skripsi
sejatinya merupakan isu lawas yang sempat menjadi perbincangan atau buah bibir
di kalangan masyarakat terutama kalangan mahasiswa sekitar tahun 1997 silam4 .
Sekali lagi wacana ini lantas juga sesekali timbul-tenggelam pada tahun
berikutnya. Jika kita mau mengkritisi wacana ini lebih dalam, alasan yang
digelontorkan Kemenristekdikti untuk memunculkan wacana tersebut adalah tidak
logis. Mengapa ? ini jawabannya alasan opsi mengerjakan sebuah pengabdian di
masyarakat menyisakan sebuah pertanyaan. Bukankah selama ini perkuliahan
reguler sudah mentradisikan program seperti Praktek Kerja Lapangan atau sering
disingkat PKL serta Kuliah kerja Nyata ( KKN ) yang mana ini biasanya
menerjunkan para mahasiswa ke tengah masyarakat daerah sebagai bentuk realisasi
dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Begitu juga dengan pilihan membuat laporan
penelitian di laboratorium, bagaimanapun wujudnya, ketika skrispsi pada
dasarnya juga sebentuk laporan penelitian. Jika tanpa adanya alasan yang rinci,
hanya akan bersifat mengutak- atik istilah belaka, tanpa memunculkan perbedaan
mendasar serta tidak memberikan manfaat yang signifikan. 3 trendenzia.com
4www.kompasiana.com/bairuindra/dosen-pembuat-skripsi-refleksi-penghapusanskripsi
Seorang mahasiswa semester VIII di salah satu perguruan tinggi yang bernama
Faris Saputra Dewa, juga memberikan penilaian bahwa mengopsionalkan skripsi
sebagai salah satu syarat kelulusan merupakan kehancuran perguruan tinggi. Ia
mengatakan bahwa memang banyak rupiah yang harus digelontorkan untuk
penyelesaian sebuah skripsi. Menurutnya, ini adalah pertimbangan yang matang,
namun inilah perjuangan dari sebuah kesabaran. Banyak hal yang dapat dijadikan
dengan adanya kesungguhan ketika mengerjakan skripsi. Skripsi tidak hanya
menguji mental namun juga menguji penghematan. Saat orang tua mengurangi
kiriman uang bulanan, mahasiswa yang sedang skripsi mau tidak mau harus
berhemat, mengerjakan skripsi sebagus mungkin menurut pemahamannya sehingga
tidak banyak coretan dan mengurangi kertas maupun tinta printer. Skripsi
membuat hidup tahan banting. Namun terlepas dari pro dan kontra opsional
skripsi sebagai syarat kelulusan ini, pekerjaan rumah yang mesti dilaksanakan
dengan segera oleh Kemeristekdikti adalah dosen- dosen pembuat skripsi yang
berkeliaran di daerah- daerah. Fenomena semakin banyaknya kampus di daerah (
kabupaten / kota ) justru menjadi boomerang bagi mahasiswa dan dosen. Mahasiswa
ingin serba praktis sedangkan dosen ingin meraup keuntungan sebanyak-
banyaknya. Maka jadilah skripsi mahasiswa yang seperti ini sebagai salah satu
ajang termenarik untuk mengumpulkan pundi- pundi amal kebaikan di dunia.
Kendati tak dipungkiri anggapan skripsi adalah momok yang menakutkan oleh
kebanyakan mahasiswa. Hal itu sebenarnya bukan karena skripsinya, tetapi karena
kebiasaankebiasaan yang dibangun, sengaja atau tidak, berawal dari paradigma
maupun sikap mahasiswa dan tak jarang pula dosen sendiri. Lalu hal yang seperti
itulah terpelihara budaya yang buram. Terkadang dosen pembimbing skripsi
terkesan dengan sengaja mempersulit proses penulisan skripsi mahasiswanya,
semisal terlalu mempersoalkan hal- hal yeknis bukan substansi kajiannya. Fakta
tersebut yang berkaitan pula dengan sikap mahasiswa yang cenderung takut dan
pasrah ketika bahan skripsinya dipersoalkan oleh dosen pembimbingnya. Ironis
memang ketika skripsi menjadi bagian peneguhan sikap kritis mahasiswa, tetapi
justry menumpulkannya. Disini yang perlu dipahami sekarang adalah skripsi bukan
semata beban atau bahkan ujian berat mahasiswa, tetapi sesungguhnya tanpa
disadari sekaligus dapat menguji peningkatan dosen. Pada akhirnya, jalan
terbaik untuk permasalahn ini adalah tetap mewajibkan skripsi sebagai syarat
kelulusan mahasiswa dengan mengenyampingkan alasan Kemeristekdikti tentang
mengopsionalkan skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan. Sejatinya alasan
yang dikemukakan oleh Kemeristekdikti hanyalah penggunaan dan kepekaan istilah
yang menimbulkan berbagai penafsiran dikalangan masyarakat padahal alasan itu
memang sudah terdefinsi dalam Tridharma Perguruan Tinggi sendiri.
JAKARTA - Ganti menteri, ganti kebijakan. Itu
yang terjadi di negeri ini. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(Ristekdikti) berencana menelurkan kebijakan baru. Yakni tidak mewajibkan
penulisan skripsi sebagai syarat kelulusan program sarjana (S1). Motivasinya
untuk menekan potensi kecurangan penyusunan tugas akhir itu.
Rencana skripsi bukan kewajiban lagi itu, disampaikan langsung Menristekdikti
Muhammad Nasir di rumah dinasnya komplek Widya Candra, Jakarta tadi malam.
Menurut mantan rektor Universitas Diponegoro (Undip), penulisan skripsi sedang
dikaji menjadi syarat opsional saja untuk lulus sarjana.
"Sebagai gantinya nanti mahasiswa yang akan lulus akan diberikan
pilihan-pilihan," ujar Nasir. Opsi untuk lulus selain menyusun skripsi
adalah, mengerjakan pengabdian ke masyarakat atau laporan penelitian di laboratorium.
Sejak masih aktif di kampus dulu, Nasir sudah paham dengan kenakalan mahasiswa
dalam bentuk membeli skripsi. Atau membayar jasa penyusunan skripsi. Nasir
mengakui bisa mendeteksi apakah skripsi yang sedang dia uji itu dibuat sendiri
atau hasil buatan orang lain.
"Saya tanya sebelum ujian. Skripsi ini beli atau buat sendiri. Kalau tidak
mengaku saya putuskan tidak lulus," ujarnya. Tetapi jika mahasiswa itu
mengakui skripsinya hasil beli, maka diberi kesempatan untuk membuat skripsi
dengan jujur satu kali lagi.
Praktek jasa pembuatan skripsi ini dimulai dari aturan lulus S1 wajib menyusun
skripsi. Kemudian ada mahasiswa yang malas atau kesulitan menyusun skripsi.
Lalu kondisi ini dibaca oleh pihak-pihak yang ingin merengkuh keuntungan. Yakni
dengan membuka jasa pembuatan skripsi.
"Selama ada demand (permintaan, red) dari mahasiswa yang malas, supply
(penawaran, red) jasa pembuatan skripsi akan terus ada," ujarnya. Nah
untuk memotong mata rantai itu, muncul rencana kebijakan syarat lulus tidak
musti menyusun skripsi.
Diharapkan mahasiswa yang lebih jago penelitian laboratorium, tidak merasa
dipaksa untuk menyusun skripsi. Begitu pula mahasiswa yang cenderung memilih
pengabdian masyarakat, tidak perlu harus menyusun skripsi.
Apalagi
proses kuliah selama ini terkait dengan tridharma pendidikan tinggi. Yang
terdiri dari pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Nasir juga menyinggung tentang keberadaan ijazah palsu. Dia menuturkan sepekan
ke depan Kemenristekdikti akan mengklasifikasikan perguruan tinggi berstatus
non aktif atau aktif. Sehingga masyarakat tidak salah pilih. Selain itu Nasir
juga mengatakan akan membentuk satuan tugas penanganan ijazah palsu. (wan)