Tuesday, 23 April 2024




Fonologi Bahasa Jawa adalah studi tentang sistem bunyi bahasa Jawa, termasuk bunyi vokal, konsonan, dan pola intonasi, serta aturan fonologis yang mengatur distribusi bunyi-bunyi tersebut dalam kata-kata. Dalam fonologi Bahasa Jawa, terdapat karakteristik unik yang membedakannya dari bahasa-bahasa lain di dunia. Berikut adalah beberapa poin penting dalam fonologi Bahasa Jawa:

1. Inventori Bunyi: Bahasa Jawa memiliki inventori bunyi yang relatif kaya, dengan kombinasi bunyi vokal dan konsonan yang beragam. Bunyi vokal Bahasa Jawa meliputi [a], [i], [u], [e], dan [o], serta variasi panjangnya. Bunyi konsonan meliputi konsonan dasar seperti [p], [b], [t], [d], [k], [g], [m], [n], [s], [w], [l], dan [r], serta beberapa konsonan kompleks dan kluster konsonan yang muncul dalam kata-kata Bahasa Jawa.

2. Vokalisme: Bahasa Jawa memiliki sistem vokal yang kaya dengan perbedaan antara vokal-vokal yang pendek dan panjang. Panjang vokal sering kali membedakan makna kata, dan dalam fonologi Bahasa Jawa, ada aturan-aturan tertentu yang mengatur distribusi vokal panjang dan pendek dalam kata-kata.

3. Aksara Jawa: Aksara Jawa merupakan sistem penulisan tradisional yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa. Setiap aksara dalam aksara Jawa umumnya mewakili satu suku kata, dan aturan-aturan khusus terkait dengan bunyi-bunyi tertentu yang mempengaruhi penulisan kata-kata dalam aksara Jawa.

4. Sandhangan: Sandhangan adalah proses fonologis di mana dua bunyi bertemu dan mengalami perubahan dalam pengucapannya. Dalam Bahasa Jawa, sandhangan terjadi dalam beberapa konteks, seperti pada awalan dan akhiran kata, di antara kata-kata dalam kalimat, atau dalam proses penggabungan kata-kata.

5. Bunyi Nasal: Bahasa Jawa memiliki penggunaan yang cukup produktif dari bunyi nasal, terutama [n] dan [Å‹]. Bunyi ini dapat muncul di awal, tengah, atau akhir kata, dan terkadang mempengaruhi bunyi-bunyi lain dalam sekitarnya.

6. Pola Intonasi: Intonasi adalah pola melodi dalam ucapan yang dapat mempengaruhi makna kalimat. Dalam Bahasa Jawa, pola intonasi dapat berubah tergantung pada konteks komunikatif dan struktur kalimatnya.

Studi fonologi Bahasa Jawa tidak hanya membahas inventori bunyi dan aturan-aturan fonologisnya, tetapi juga menjelaskan perubahan bunyi dalam konteks tertentu, distribusi bunyi dalam kata-kata, dan pengaruh fonologi terhadap struktur kata dan kalimat dalam bahasa tersebut.



Linguistik Bahasa Jawa merupakan cabang linguistik yang secara khusus mempelajari bahasa Jawa dari berbagai aspek linguistik, termasuk struktur bunyi, struktur kata, struktur kalimat, makna, dan konteks penggunaan bahasa Jawa. Studi linguistik Bahasa Jawa juga meliputi aspek-aspek sosiolinguistik dan historisitas bahasa Jawa, serta kajian tentang literatur dan budaya Jawa yang terkait dengan bahasa tersebut.

Berikut adalah penjelasan lengkap tentang beberapa aspek yang termasuk dalam studi linguistik Bahasa Jawa:

1. Fonologi Bahasa Jawa: Fonologi adalah cabang linguistik yang mempelajari sistem bunyi dalam bahasa. Studi fonologi bahasa Jawa mencakup analisis bunyi-bunyi bahasa Jawa, seperti vokal, konsonan, dan pola intonasi. Ini juga mencakup kajian tentang perubahan bunyi dalam konteks tertentu dan distribusi bunyi dalam kata.

2. Morfologi Bahasa Jawa: Morfologi adalah cabang linguistik yang mempelajari struktur internal kata dan pembentukan kata. Dalam studi morfologi bahasa Jawa, peneliti memeriksa akar kata, afiksasi, reduplikasi, dan perubahan bentuk kata sesuai dengan fungsi dan makna.

3. Sintaksis Bahasa Jawa: Sintaksis adalah cabang linguistik yang mempelajari struktur kalimat dan cara kata-kata disusun untuk menyampaikan makna. Studi sintaksis bahasa Jawa meliputi analisis tentang pola-pola urutan kata, peran sintaksis dari partikel-partikel bahasa Jawa, dan struktur kalimat kompleks dalam bahasa tersebut.

4. Semantik dan Pragmatik Bahasa Jawa: Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna kata, frasa, kalimat, dan teks secara luas. Pragmatik, di sisi lain, mempelajari penggunaan bahasa dalam konteks komunikatif. Studi semantik dan pragmatik bahasa Jawa mencakup analisis makna leksikal, makna gramatikal, serta strategi dan kebijaksanaan komunikatif yang digunakan dalam bahasa Jawa.

5. Variasi dan Dialek Bahasa Jawa: Bahasa Jawa memiliki berbagai variasi dan dialek di berbagai wilayah geografis dan dalam berbagai kelompok sosial. Studi ini mempelajari perbedaan fonologis, morfologis, sintaktis, dan semantis antara variasi bahasa Jawa serta faktor-faktor sosial, sejarah, dan geografis yang mempengaruhi perbedaan tersebut.

6. Historisitas Bahasa Jawa: Linguistik historis adalah cabang linguistik yang mempelajari perkembangan dan evolusi bahasa dari waktu ke waktu. Studi historis bahasa Jawa mencakup penelusuran asal-usul kata, perubahan bunyi, dan perkembangan struktur bahasa Jawa dari masa ke masa.

7. Pemertahanan Bahasa dan Budaya Jawa: Studi ini fokus pada upaya untuk mempertahankan dan mendokumentasikan bahasa Jawa serta warisan budaya yang terkait dengannya. Ini termasuk pelestarian dialek, upaya revitalisasi bahasa Jawa, dan peran bahasa dalam menjaga identitas dan keberlanjutan budaya Jawa.

Studi linguistik Bahasa Jawa tidak hanya memberikan wawasan tentang struktur dan penggunaan bahasa itu sendiri, tetapi juga membantu memahami aspek-aspek budaya, sejarah, dan sosial masyarakat Jawa secara lebih luas.

Saturday, 6 April 2024



Berikut 20 judul skripsi yang potensial dalam bidang pendidikan matematika:

1. “Menggali Dampak Pembelajaran Berbasis Manipulatif Terhadap Pemahaman Pecahan Siswa SD”

2. “Peran Representasi Visual dalam Meningkatkan Pembelajaran Geometri: Studi Banding”

3. “Menyelidiki Efektivitas Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Pengajaran Konsep Aljabar pada Siswa Sekolah Menengah”

4. "Menilai Keampuhan Permainan Matematika Digital dalam Meningkatkan Kemahiran Matematika di Kalangan Siswa Sekolah Dasar"

5. “Mengkaji Hubungan Kecemasan Matematis dengan Prestasi Matematika SMA”

6. “Menerapkan Strategi Pengajaran Diferensiasi untuk Mengatasi Beragam Kebutuhan Pembelajaran di Kelas Matematika”

7. “Menganalisis Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Prestasi Matematika di Sekolah Perkotaan”

8. “Mengeksplorasi Pemanfaatan Tutoring Sebaya Dalam Meningkatkan Keterampilan Pemecahan Masalah Matematis Pada Siswa Sekolah Menengah”

9. “Dampak Program Pengembangan Profesi Guru terhadap Pembelajaran Matematika dan Prestasi Siswa”

10. “Menyelidiki Efektivitas Model Flipped Classroom dalam Pengajaran Konsep Kalkulus di Tingkat Perguruan Tinggi”

11. “Memanfaatkan Simulasi Virtual Reality untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Geometri Tiga Dimensi”

12. "Meneliti Perbedaan Gender dalam Sikap Terhadap Matematika dan Pengaruhnya terhadap Prestasi"

13. "Peran Strategi Metakognitif dalam Meningkatkan Pemecahan Masalah Matematis pada Siswa Berbakat"

14. “Mengkaji Integrasi Etnomatematika dalam Kurikulum: Perspektif dari Pendidikan Menengah”

15. "Menyelidiki Efektivitas Penggunaan Konteks Dunia Nyata dalam Pengajaran Statistika kepada Siswa Sekolah Menengah"

16. "Dampak Struktur Pembelajaran Kooperatif terhadap Keterlibatan dan Prestasi Siswa dalam Matematika"

17. "Menjelajahi Hubungan Antara Keterampilan Penalaran Spasial dan Kesuksesan di Bidang STEM"

18. "Menilai Dampak Jangka Panjang Program Intervensi Matematika Dini terhadap Prestasi Akademik"

19. “Mengkaji Pengaruh Keterlibatan Orang Tua Terhadap Pembelajaran Matematika pada Pendidikan Anak Usia Dini”

20. “Menganalisis Penerapan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Proyek dalam Pendidikan Matematika: Tantangan dan Peluangnya”


Judul tesis ini mencakup berbagai topik dalam pendidikan matematika, mulai dari strategi pedagogi hingga dampak teknologi dan faktor sosial ekonomi terhadap pembelajaran siswa. Mereka menawarkan banyak kesempatan untuk penelitian dan penyelidikan di lapangan.


 To create Accelerated Mobile Pages (AMP), you'll want to follow these steps:


1. Understand AMP

    Get familiar with what AMP is and why it's used. AMP is an open-source framework designed to create fast-loading mobile web pages. It restricts HTML, CSS, and JavaScript to optimize performance, ensuring a better user experience, especially on mobile devices.

2. Plan your content

    Determine which pages of your website you want to convert to AMP. Typically, you might start with your most visited pages or those with a lot of multimedia content.

3. Set up your development environment

    You can either create AMP pages from scratch or convert existing pages to AMP. Either way, you'll need a text editor, a web server, and a basic understanding of HTML, CSS, and JavaScript.

4. Use the AMP HTML framework 

    AMP HTML is a subset of HTML with some custom elements and properties. These elements and properties ensure that your page loads quickly and smoothly. Refer to the [official AMP documentation](https://amp.dev/documentation/guides-and-tutorials/start/create/basic_markup/) for detailed guidance on AMP HTML.

5. Include required AMP components 

    AMP offers a variety of components that enhance functionality while maintaining performance. Some common components include amp-img for images, amp-video for videos, amp-carousel for image carousels, etc. Refer to the [AMP components documentation](https://amp.dev/documentation/components/) for the full list and usage instructions.

6. Ensure valid markup

    AMP has strict requirements for markup validation. Use the AMP Validator tool to check your markup for errors and ensure compliance with AMP standards.

7. Test your AMP pages

    Use the AMP Test tool to verify that your AMP pages are valid and rendering as expected. It's crucial to test across different devices and browsers to ensure a consistent user experience.

8. Optimize for performance

    AMP pages are all about speed, so optimize your content accordingly. Minimize CSS and JavaScript, optimize images, and prioritize above-the-fold content to ensure fast loading times.

9. Integrate with Google AMP Cache (optional)

    Google offers an AMP Cache that can serve your AMP pages, improving their loading speed even further. Integrate with the Google AMP Cache by adding a specific <link> tag to the <head> of your AMP pages.

10. Monitor and maintain

    Regularly monitor the performance of your AMP pages using tools like Google Analytics. Keep an eye on any updates or changes to the AMP framework and adjust your pages accordingly.

By following these steps, you can create fast-loading AMP pages that provide a seamless user experience on mobile devices.

Tuesday, 2 April 2024



**Title: Enhancing Language Acquisition through Interactive Teaching Methods**


**Abstract:**

This journal explores the effectiveness of interactive teaching methods in enhancing language acquisition in Bahasa education. It investigates various strategies such as role-playing, group discussions, and multimedia integration to engage students actively in language learning. The study highlights the importance of creating a dynamic and immersive learning environment to foster linguistic proficiency and cultural understanding.


**Introduction:**

Language acquisition is a multifaceted process that involves not only linguistic competence but also cultural awareness and communicative skills. In Bahasa education, traditional teaching methods often focus on grammar drills and vocabulary memorization, neglecting the interactive aspect of language learning. This journal aims to examine the benefits of incorporating interactive teaching methods to enrich the language acquisition experience.


**Literature Review:**

Previous studies have shown that interactive teaching methods significantly contribute to language acquisition. Activities such as role-playing, group discussions, and project-based learning encourage active participation and facilitate meaningful communication among students. Additionally, integrating multimedia resources such as videos and online platforms provides diverse language input and promotes authentic language use.


**Methodology:**

A mixed-methods approach was employed to investigate the effectiveness of interactive teaching methods in Bahasa education. Quantitative data were collected through pre- and post-tests to measure language proficiency levels, while qualitative data were obtained through observations and student feedback to evaluate engagement and satisfaction with the teaching methods.


**Results:**

The results indicate a significant improvement in language proficiency among students who participated in interactive teaching activities. The interactive nature of the lessons enhanced students' speaking and listening skills, as well as their cultural competence. Moreover, students expressed higher levels of motivation and enjoyment in learning Bahasa through interactive methods compared to traditional approaches.


**Discussion:**

The findings underscore the importance of incorporating interactive teaching methods in Bahasa education to promote active engagement and meaningful language use. By creating a communicative and immersive learning environment, educators can cultivate students' language proficiency and cultural awareness effectively. Furthermore, integrating technology and multimedia resources can enhance the effectiveness and accessibility of interactive language learning experiences.


**Conclusion:**

In conclusion, interactive teaching methods play a crucial role in enhancing language acquisition in Bahasa education. By prioritizing active participation and authentic communication, educators can empower students to develop linguistic proficiency and cultural understanding. Future research should continue to explore innovative approaches to optimize language learning outcomes in diverse educational contexts.

Sunday, 31 March 2024



Untuk mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris berikut contoh 15 judul skripsi yang bisa dijadikan referensi untuk bahan skripsi kalian.
  • Teaching Reading Comprehension Using Communicative Approach Through Songs And Games To The Eighth
  • The Correlation Between Junior High School Students' Cognitive Strategy and Their Reading Comprehension
  • An Analysis of Teachers’ Strategies in Teaching Reading Comprehension
  • Addition And Omission In The The English-Bahasa Indonesia The Adventures Of Tintin The Secret Of The Unicorn Movie Texts
  • The Effectiveness of Picture Series in Teaching Writing Recount Text
  • The Correlation between Students’ Vocabulary Mastery and Reading Comprehension
  • Mispronunciation Of English Final Alveolar-Alveolar And Velar-Alveolar Consonant Clusters By The Students Of SMA Tirta Jaya
  • Student's Perception of the Use of Animated Movie in Vocabulary Lessons of 8th Graders of SMPN 1 Jakarta
  • Student’s Learning Achievement With Traditional Assessment And Portfolio Assessment
  • The Implementation of Collaborative Strategy in Teaching Students’ Reading Comprehension
  • The Correlation between Language Learning Strategies and Students’ Thinking Styles
  • The Implementation of Spelling Bee in Teaching English Narrative Texts
  • The Influence Of The Self-Directed Dialogue Towards The Students’ Speaking Ability For The First Year Of Senior High School
  • The Influence Of Students’ Intelligence Toward Speaking Abilities At The Second Year Of Senior High School
  • Using Realia As Teaching Aid In Developing Students’ Descriptive Paragraph Writing Ability In Senior High School
https://katadata.co.id/lifestyle/varia/63eefc40a66f2/40-contoh-judul-skripsi-jurusan-pendidikan-bahasa-inggris
#judulskripsi #pendidikanbahasainggris

Monday, 4 April 2016

TEMPO.CO Yogyakarta: Rektor Universitas Gadjah Mada, Dwikorita Karnawati tidak sepakat dengan wacana penghapusan skripsi sebagai syarat meraih gelar S1. Dwikorita berpendapat skripsi menjadi bagian penting sekaligus tak terpisahkan dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi yang berbasis riset. "Riset jadi salah satu cara pembuktian fakta dan hipotesis," kata Dwikorita saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 30 Mei 2015.

Pakar geologi dan pengurangan risiko bencana ini mengimbuhkan penulisan skripsi juga mengajarkan prinsip penting lain yang menjadi unsur utama dalam riset, yakni integritas dan cara berfikir ilmiah.

Setiap riset memerlukan pondasi pelaksanaan prinsip kejujuran dalam proses pengembangan instrumen, pengumpulan data, analisis data hingga merancang kompleksitas argumentasi ilmiah. "Ini menjadi bagian dari akuntabilitas akademik," kata dia.

Dwikorita mengaku sudah menerima klarifikasi dari Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir mengenai isu penghapusan skripsi. "Menteri tidak menyampaikan S1 bisa tanpa skripsi," kata dia.
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Rokhmat Wahab juga menilai skripsi penting untuk syarat sarjana S1. Dia menganggap skripsi berguna melengkapi kapasitas sarjana dalam menganalisis masalah sekaligus berfikir metodologis. "Jangan memanjakan mahasiswa (skripsi dihapus), kualitas sarjana S1 Indonesia bisa menurun," kata Rokhmat.

Adapun Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Edi Suwandi Hamid mengatakan penentuan skripsi sebagai syarat kelulusan sarjana Strata Satu (S1) atau tidak merupakan wilayah otonomi kampus.

Dia juga mengaku sudah menerima klarifikasi tentang tidak adanya rencana Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi mengeluarkan keputusan yang menghapus skripsi sebagai syarat kelulusan S1.

Namun, menurut Edi, selama ini tidak ada juga aturan dari Dirjen Dikti yang mewajibkan pengerjaan skripsi untuk syarat kelulusan mahasiswa S1. Hal ini berbeda dengan penyusunan thesis dan disertasi yang memang sejak lama diwajibkan oleh Dirjen Dikti sebagai syarat kelulusan sarjana S2 dan S3."Skripsi ada di kewenangan masing-masing kampus," kata Edi.

Karena itu, dia berpendapat, setiap kampus, baik negeri dan swasta, bisa saja tidak mewajibkan penyusunan skripsi bagi calon sarjana S1. Dia mencatat beberapa kampus negeri sekalipun ada yang sudah memberlakukan syarat kelulusan bisa tanpa skripsi. "Di luar negeri, banyak negara yang kampusnya tidak mewajibkan skripsi bagi mahasiswa S1," kata Edi.

Salah satu kebijakan dari Dirjen DIKTI yang menuai kontroversi adalah kewajiban membuat makalah di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan di program sarjana dan pascasarjana. Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Edaran DIKTI Nomor SK : 152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012 yang naskah lengkapnya dapat dilihat di sini.
Description: http://pena.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2012/04/SE-DIKTI-Makalah.jpg
Surat Edaran Dirjen DIKTI yang menuai kontroversi
Kebijakan tersebut menuai pro dan kontra, lengkap dengan perdebatan seru di kalangan civitas akademika dan pemerhati pendidikan di Indonesia. Mari kita lihat sekilas alasan atau argumentasi dari masing-masing kubu.
Kubu pro sangat mendukung kebijakan ini karena tanpa ada paksaan, mahasiswa tidak akan pernah membuat makalah. Kadang “tangan besi“ membuat kita tidak cengeng atau bisa berupaya dengan keras, walau mungkin terpaksa. Dengan kerja keras, termasuk dengan membuat makalah, maka mahasiswa ditempa dengan etos dan budaya ilmiah. Lagian, sumber pembuatan makalah pun bisa diambil dari riset kecil-kecilan, apalagi dari hasil tugas akhir atau skripsi. Intinya, jika tidak dipaksa, mahasiswa justru dininabobokan dan terlena. Padahal negara lain sudah lari dalam hal jumlah publikasi, termasuk Malaysia yang dijadikan rujukan dalam surat edaran Dirjen DIKTI tersebut.
Selain itu, kubu pro merasa bahwa perguruan tinggi adalah pabrik riset dan publikasi, bukan pabrik sarjana semata. Saat ini, masyarakat sering mempertanyakan peran perguruan tinggi dalam memberdayakan dan menerapkan IPTEKS demi pembangungan nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kampus pun dianggap menara gading yang terisolasi dari masyarakat. Dan salah satu cara mengatasi tuduhan tersebut adalah melalui penyebaran IPTEKS berupa makalah dalam jurnal ilmiah.
Namun, pihak yang berseberangan, yakni kubu kontra tidak kalah sengitnya menolak kebijakan tersebut. Argumentasi atau alasannya pun masuk akal. Satu pertanyaan yang dilontarkan oleh kubu kontra: Apakah menulis makalah menjadi jaminan bahwa lulusannya bisa bekerja dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat? Jika tidak, untuk apa buat makalah. Namun kubu kontra tidak menganggap makalah itu tidak penting, namun keharusan tersebut belum menjadi priorotas, atau masih banyak masalah pendidikan tinggi lainnya yang perlu dibenahi.
Pertanyaan lainnya dari kubu kontra: Apakah sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk memuat makalah tersebut sudah memadai? Mutu perguruan tinggi itu sangat beragam, termasuk kemampuannya dalam mengelola jurnal. Jika sarana dan prasarana tersebut tidak memadai, maka kebijakan tersebut bisa menjadi bottle neck. Jadi yang lebih prioritas didahulukan adalah peningkatan budaya ilmiah, termasuk peningkatan kemampuan metodologi dan publikasi ilmiah bagi perguruan tinggi yang secara mayoritas tidak sama seperti PTN-PTN ternama di Indonesia yang sedikit jumlahnya.
Andaikan kebijakan itu dipaksakan, kubu kontra membuat kalkulasi berapa jumlah makalah yang dihasilkan selama setahun oleh ratusan ribu lulusan. Apakah jumlah jurnal ilmiah saat ini bisa menampungnya. Okelah, setiap perguruan tinggi memang bisa menerbitkan jurnal ilmiah seperti penjelasan Dirjen DIKTI dan Mendiknas sesudah SE itu menuai pro dan kontra. Namun, lagi-lagi, apakah upaya penerbitan jurnal itu bisa dilakukan oleh 3000 lebih PT di Indonesia, dengan segala permasalahannya. Yang dikhawatirkan oleh kubu kontra adalah munculnya jurnal abal-abal, atau para pembuat jasa makalah- atau sering disebut sebagai ghost writer atau shadow scholar- muncul bergentayangan. Kondisi tersebut justru kontraproduktif terhadap upaya membangun etika ilmiah di dunia kampus.
Singkat kata, niat baik belum tentu berdampak baik jika faktor lainya tidak dipertimbangkan. Kewajiban membuat makalah sebenarnya tidak dipermasalahkan oleh kubu kontra jika diberlakukan untuk mahasiswa tingkat master dan doktor. Pemberlakukannya untuk lulusan sarjana setidaknya perlu ditunda karena masih banyak masalah lain yang lebih mendesak untuk dibenahi di perguruan tinggi.
Sedari dulu, semua lulusan S-1 diwajibkan untuk membuat sebuah karya tulis yang bernama skripsi sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana. Saya hanya mahasiswa disebuah Perguruan Tinggi Negeri di Bandung, saat ini sedang berada di semester VIII. Sedang disibukkan dengan skripsi, melihat berita ini rasanya jadi agak malas untuk melanjutkan skripsi saya. hehehe Entah harus merasa senang atau sedih mengetahui wacana yang sedang hangat diperbincangkan oleh seluruh sivitas akademik disemua perguruan tinggi ini. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, membuat sebuah skripsi adalah sebuah tantangan untuk saya, sesuatu yang saat ini saya perjuangkan dan mungkin akan saya banggakan di waktu yang akan datang. Menristek dan Dikti, RI, Muhammad Nasir merancang penghapusan skripsi di perguruan tinggi! Alasannya; jual beli ijasah dan jiplak-menjiplak skripsi masih marak, semua disebabkan atas nama kelulusan, cara-cara devian serupa ini memanglah menjadi momok di perguruan tinggi. Kisah Penghapusan Skripsi di Perguruan Tinggi (Muhammad Armand, Kompasianer) Penyusunan skripsi hanya akan dijadikan sebagai opsi untuk syarat kelulusan program sarjana, sebagai gantinya selain penyusunan skripsi terdapat opsi lain sebagai syarat kelulusan yaitu mengerjakan pengabdian di masyarakat atau laporan penelitian di laboratorium. Hal ini juga menyangkut dengan tridhrama perguruan tinggi, yaitu pembelajaran, penelitian dan juga pengabdian masyarakat. Alasan dari dikeluarkannya wacana tersebut yaitu untuk meminimalisir kecurangan-kecurangan dalam penyusunan skripsi tersebut, khususnya menyangkut jasa penyusunan skripsi atau membeli skripsi yang di lakukan mahasiswa. Wacana Menristek Opsionalkan Skripsi, Kabar Gembira Bagi Mahasiswa S-1 (Liafit Nadia Yuniar, Mahasiswi dan Kompasianer) Penggalan dua tulisan Kompasianer hanyalah sebagian kecil dari opini masyarakat terkait mengenai penghapusan skripsi untuk syarat lulus untuk mahasiswa S-1. Seperti yang saya tulis pada kolom judul, wacana ini bisa jadi baik atau buruk, ada baiknya bila wacana ini kita lihat dari dua sisi. Namanya juga kebijakan yang dibuat manusia, pasti akan ada dampak positif dan negatifnya. Lain halnya dengan kebijakan Tuhan yang pasti baik untuk manusia. Lulus S-1 Tanpa Skripsi, Solusi? Bukan tanpa alasan bila Menristek dan Pendidikan Tinggi ingin menghilangkan skripsi. Selain karena faktor maraknya jual-beli skripsi atau copy-paste skripsi. Faktor biaya juga mungkin beliau pertimbangkan, karena beliau pernah merasakan suka-duka membuat sebuah skripsi saat masih berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Diponegoro. Banyak diantara teman-teman seperjuangan saya yang merasa bahwa skripsi adalah sebuah beban. Mengerjakan sebuah skripsi saat ini tidak cukup dengan biaya yang minim meskipun dikerjakan sendiri (dengan cara yang jujur, tanpa copy-paste skripsi yang sudah ada atau menggunakan jasa pembuatan skripsi). Karena diperlukan biaya untuk cetak skripsi, belum lagi bila ada revisi dari dosen pembimbing. Bolak-balik ke tempat nge-print sudah jadi rutinitas mahasiswa tingkat akhir. Ada yang bilang membeli printer bisa jadi solusi, jadi tak perlu ke rental komputer yang sediakan jasa print. Memang belinya tak butuh dana? Kemudian untuk beli tinta dan kertas HVS, pasti perlu dana yang tidak sedikit kan? Belum untuk pengeluaran lainnya, seperti membuat suvenir untuk responden (khusus untuk metode kuantitatif dengan penelitian menggunakan kuisioner) sebagai ucapan terimakasih telah berpartisipasi dalam pembuatan skripsi sang mahasiswa, membeli buku untuk referensi, belum lagi biaya transportasi yang harus dikeluarkan (ada rekan saya yang harus sering pulang pergi Bandung-Jakarta karena melakukan penelitian disebuah perusahaan yang berpusat di Jakarta). Pokoknya banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk sebuah skripsi. Ditiadakannya skripsi sebagai syarat lulus setidaknya bisa meringankan beban mahasiswa, serta mengurangi penggunaan kertas HVS yang berarti menyelamatkan hutan, hanya saja bisa jadi mimpi buruk bagi para penyedia jasa nge-print karena akan mengurangi pemasukan mereka. Membuat skripsi untuk syarat menjadi sarjana sama saja seperti menyuruh semua ayam betina untuk menghasilkan telur dengan berat dan ukuran yang sama. Perlu diingat bahwa tidak semua mahasiswa berbakat dalam pembuatan sebuah karya tulis (termasuk saya yang lebih senang membuat sebuah karya desain grafis atau tulisan bebas di Kompasiana, hehehe). Melihat sebuah kalimat yang ditulis oleh Liafit Nadia diatas: "... sebagai gantinya selain penyusunan skripsi terdapat opsi lain sebagai syarat kelulusan yaitu mengerjakan pengabdian di masyarakat atau laporan penelitian di laboratorium. Hal ini juga menyangkut dengan tridhrama perguruan tinggi, yaitu pembelajaran, penelitian dan juga pengabdian masyarakat.".
Saya rasa ini solusi yang cukup adil untuk mahasiswa yang lebih senang melakukan observasi diluar ruangan ketimbang menghabiskan waktu seharian diperpustakaan kampus untuk copy-paste skripsi yang sudah ada. Bila wacana ini jadi terlaksana pada tahun ini, berarti saya sudah bisa wisuda tanpa skripsi karena sudah melaksanakan pengabdian di masyarakat selama bulan Pebruari 2015 dan sudah melakukan praktik job training dibagian Public Relations sebuah perusahaan saat libur semester VI (karena saya adalah mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Humas). hehehe Lulus S-1 Tanpa Skripsi, Awal Kehancuran Perguruan Tinggi? Mungkin rasanya saya nampak lancang bila mengatakan wacana penghapusan skripsi sebagai syarat untuk jadi sarjana akan jadi awal kehancuran bagi perguruan tinggi. Tapi saya rasa itu akan terjadi, meskipun tidak dalam waktu dekat. Skripsi yang dibuat dengan penuh kesungguhan akan meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menganalisis sebuah permasalahan sesuai bidang keilmuannya, selain itu pembuatan skripsi yang baik dan benar menuntut mahasiswa untuk lebih sering membaca dan mencari referensi (setidaknya intensitas membaca buku saya meningkat di semester akhir ini demi skripsi saya, hehehe). Lalu masalah lainnya: bila pembuatan skripsi dihapuskan, apa yang membedakan lulusan S-1 dan D-III selain lama kuliahnya? Skripsi-lah yang membedakan sarjana dengan ahli madya, mahasiswa lulusan S-1 dituntut untuk lebih memahami ilmu secara teoritis dan harus memiliki keahlian untuk menganalisis. Tidak seperti lulusan diploma yang memang disiapkan untuk dunia kerja sesuai dengan bidang keahlian yang dipelajari. Kalau skripsi dihapuskan, mungkin sebaiknya sekalian saja hapuskan program pendidikan S-1 diseluruh Perguruan Tinggi di Indonesia.

Ijazah S-1 palsu, jual-beli skripsi, copy-paste skripsi, dan ketakutan-ketakutan lainnya dari Menristek dan Perguruan Tinggi sehingga ingin meniadakan skripsi adalah kesalahan kita, kesalahan masyarakat Indonesia. Tidak sedikit dari kita yang mengupayakan segala cara agar memeroleh gelar sarjana dengan cara yang instan, supaya bisa dapat kerja yang enak, supaya bisa menyematkan gelar setelah nama lengkap agar bisa dihormati orang lain. Meskipun hati saya cenderung mendukung Pak Menteri untuk tiadakan skripsi untuk lulus S-1, tapi skripsi sudah selayaknya jadi bagian dalam proses menuju gelar sarjana. Adapun untuk menyiasati kecurangan-kecurangan yang sudah berulangkali saya tulis diatas adalah dengan menindak tegas para pelanggar, baik para pemalsu dan penyedia ijazah palsu, pengguna layanan dan penyedia layanan pembuatan skripsi, dan para plagiat skripsi.
Daripada menghapuskan skripsi, saya lebih setuju pemerintah membuat undang-undang mengenai legalitas dan orisinalitas karya tulis (tidak hanya skripsi, namun juga tesis dan disertasi), kemudian menghukum para pelanggar dengan hukuman yang sangat berat sehingga ijazah palsu, jasa pembuatan skripsi, dan plagiator skripsi benar-benar hilang dari Bumi Pertiwi. Untuk tindakan jangka panjang, pemerintah juga harus mampu tanamkan budaya hidup jujur sejak dini kepada generasi muda yang jadi garapan Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah. Pentingnya menanamkan nilai-nilai moral dengan tidak mengutamakan hasil akhir melainkan prosesnya, karena skripsi adalah hasil sebuah proses. Memang bukan hal yang mudah, tapi kalau terus dibiarkan, negeri ini akan jadi sarang pembohong, sarang penipu, dan sarang pemalsu. Perketat Syarat untuk Mendirikan Sebuah Perguruan Tinggi! Hal ini mungkin sedikit melebar dari judul, tapi ini rasanya cukup meresahkan dunia pendidikan. Saat ini semakin banyak lahir berbagai perguruan tinggi baru, baik dalam bentuk Sekolah Tinggi, Akademi, ataupun Politeknik. Saya sangat mengapresiasi berbagai yayasan yang mengakomodir kebutuhan masyarakat akan perguruan tinggi swasta, hanya saja saya tidak setuju apabila ada perguruan tinggi yang menggunakan ruko dan kios untuk ruang perkuliahannya, bahkan ada sebuah rumah yang dijadikan sebuah perguruan tinggi. Fenomena seperti ini memperkuat pandangan saya bahwa semakin banyak orang yang mendewakan gelar, baik sarjana ataupun ahli madya. Pada kenyataannya, jumlah lulusan SLTA/sederajat masih lebih banyak ketimbang daya tampung perguruan tinggi baik negeri ataupun swasta. Perguruan Tinggi Swasta (PTS) saat ini sudah menjadi industri yang sangat menguntungkan, beberapa PTS terbaik di Indonesia mampu menghasilkan keuntungan hingga milyaran rupiah setiap tahunnya, membuka banyak lapangan pekerjaan untuk banyak orang. Pantas saja banyak yang tergiur untuk dirikan PTS meskipun harus sewa ruko atau rumah kosong yang letaknya mudah dijangkau. Bila pemerintah inginkan lulusan perguruan tinggi yang berkualitas, seharusnya pemerintah juga menerapkan standar yang tinggi terkait dengan syarat untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi. Jangan sampai ada perguruan tinggi, baik itu Sekolah Tinggi, Akademi, ataupun Politeknik yang ruang perkuliahannya 'ngontrak' di ruko atau rumah kosong. Memang perlu investasi yang besar untuk membangun sebuah perguruan tinggi yang berkualitas, supaya lulusannya juga berkualitas. Tidak asal sarjana yang tidak jelas asal-usul perguruan tinggi serta akreditasinya. Mohon maaf sebelumnya, tidak ada maksud saya memandang rendah PTS yang bermarkas disebuah ruko, tapi pendidikan yang berkualitas mampu hasilkan sumber daya manusia yang berkualitas juga, kan?

Telah kita ketahui bersama bahwa syarat kelulusan seorang sarjana S-1 adalah dengan kewajiban bagi mahasiswa untuk menyusun tugas akhir berupa skripsi. Skripsi itu sendiri merupakan momokyang menakutkan bagi setiapmahasiswa semester akhir yang sudah akan lulus. Namun pada tahun 2015 ini dengan kesan yang tiba-tiba Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (ristekdikti) memiliki wacana untuk mengeluarkan kebijakan baru, yaitu tidak diwajibkannya penulisan skripsi sebagai syarat kelulusan program sarjana S1. Penyusunan skripsi hanya akan dijadikan sebagai opsi untuk syarat kelulusan program sarjana, sebagai gantinya selain penyusunan skripsi terdapat opsi lain sebagai syarat kelulusan yaitu mengerjakan pengabdian di masyarakat atau laporan penelitian di laboratorium. Hal ini juga menyangkut dengan tridhrama perguruan tinggi, yaitu pembelajaran, penelitian dan juga pengabdian masyarakat. Alasan dari dikeluarkannya wacana tersebut yaitu untuk meminimalisir kecurangan-kecurangan dalam penyusunan skripsi tersebut, khususnya menyangkut jasa penyusunan skripsi atau membeli skripsi yang di lakukan mahasiswa. Wacana yang dikeluarkan oleh menristek-dikti ini menimbulkan pro dan kontra dari beberapa kalangan, mereka memiliki argument masing-masing yang mendasari pendapatnya tersebut. Kelompok yang pro dengan wacana tersebut lebih banyak datang dari pihak mahasiswa sendiri, mereka menyambut dengan senang wacana tersebut sebagai kabar gembira. Dengan munculnya wacana tersebut, diharapkan mahasiswa yang lebih unggul dalam bidang penelitian dapat mengembangkan potensinya tersebut tanpa harus dipaksa untuk menyususn skripsi. Sama halnya dengan mahasiswa yang lebih unggul dan tertarik dalam pengabdian masyarakat. Selain karena alasan tersebut, wacana ini dianggap mampu memberantas kecurangan-kecurangan yang dilakukan mahasiswa dalam penyusunan skripsi terkait dengan jasa-jasa penyusunan skripsi. Adanya penawaran dari jasa penyusunan skripsi karena adanya permintaan dari mahasiswa yang merasa kesulitan untuk menyusun tugas akhirnya tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut maka untuk memotong mata rantai kecurangan-kecurangan dalam penyusunan skripsi tersebut yaitu dengan cara tidak hanya menjadikan skripsi sebagai tugas akhir mutlak yang harus diselesaikan mahasiswa program sarjana S-1. Toh, wacana ini hanya menjadikan skripsi sebagai syarat opsional saja untuk meraih gelar sarjana, bukan menghapuskan ataupun meniadakan skripsi. Hal ini sudah diterapkan di beberapa kampus, meskipun masih banyak kampus yang mewajibkan penyusunan skripsi sebagai tugas akhir mahasiswa S1. Misalnya saja Universitas Indoneseia (UI) yang tidak mewajibkan skripsi menjadi tugas akhir mahasiswa untuk meraih gelar sarjana, melainkan memberikan opsi tugas akhir yang berbentuk lain. Dengan wacana seperti ini, setidaknya mahasiswa mampu dengan leluasa dan tidak merasa terbatasi menentukan tugas akhir yang paling sesuai dengan kemampuannya tanpa mengurangi urgensi dari tugas akhir tersebut. Melalui wacana ini diharapkan kedepannya mahasiswa program sarjana benar-benar lulus dan mendapatkan gelar sarjana berdasarkan kemampuan yang benar-benar dimiliki dan dikuasainya yang sesuai dengan konsentrasi ilmu yang di dapatkannya selama kuliah. Sehingga tidak ada lagi mahasiswa yang melakukan kecurangan-kecurangan dalam penyusunan skripsi karena mereka merasa tertekan dan terbebani untuk menyusun tugas akhir tersebut. Hingga akhirnya diharapkan akan terbentuk sarjana-sarjana yang benar-benar berkompeten bukan sarjana abal-abal yang lulus dan meraih gelar sarjana karena membeli skripsi dari jasa-jasa pembuatan skripsi.
Menjawab Realitas Pro dan Kontra Skripsi Menjadi Opsi Syarat Kelulusan Mahasiswa S1 Bukan hal yang tabu lagi jika skripsi memang sudah dijadikan syarat kelulusan bagi mahasiswa. Namun, kenyataan yang sekarang terjadi di tahun ini adalah ganti menteri, ganti kebijakan terutama kebijakan di bidang pendidikan. Itu yang sedang terjadi di negeri ini. Hal ini diawali dengan adanya wacana Kemenristekdikti opsionalkan skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan mahasiswa1 . Penyusunan skripsi hanya akan dijadikan sebagai opsi untuk syarat kelulusan program sarjana, sebagai gantinya selain penyusunan skripsi terdapat opsi lain sebagai syarat kelulusan yaitu mengerjakan pengabdian di masyarakat atau laporan penelitian di laboratorium. Hal ini selaras dengan tridhrama perguruan tinggi, yaitu pembelajaran, penelitian dan juga pengabdian masyarakat. Alasan utama dari dikeluarkannya wacana tersebut yaitu untuk meminimalisir kecurangan-kecurangan dalam penyusunan skripsi, khususnya menyangkut jasa penyusunan skripsi atau membeli skripsi yang sering dilakukan mahasiswa. Wacana yang dikeluarkan oleh Kemenristekdikti ini tentunya sudah pasti menimbulkan pro dan kontra dari beberapa kalangan, mereka memiliki argument masing-masing yang mendasari pendapatnya tersebut. Kelompok yang pro dengan wacana tersebut tentunya lebih banyak datang dari kalangan mahasiswa sendiri, mereka menyambut dengan senang wacana tersebut sebagai kabar gembira. Dengan adanya wacana tersebut, diharapkan mahasiswa yang lebih unggul dalam bidang penelitian dapat mengembangkan potensinya, tanpa harus dipaksa untuk menyususn skripsi. Sama halnya dengan mahasiswa yang lebih unggul dan tertarik dalam pengabdian masyarakat. Tanggapan kontra atas wacana ini datang dari Putra Santoso yang merupakan dosen muda biologi dari Unand, beliau mangatakan bahawa tidak tepat upaya mengubah syarat kelulusan dengan menghilangkan skripsi, justru permasalahannya ada pada setiap individu mahasiswa sendiri yang perlu adanya pengawasan ekstra dari pembimbing skrispsi2 . Beliau menambahkan pengawasan ekstra oleh pembimbing skripsi mahasiswa sendiri perlu dilakukan sejak awal menentukan judul karya penelitian. Pengawasan ini meliputi pencegahan plagiarisme terhadap karya orang lain, baik itu berupa sedikit kutipan maupun secara keseluruhan teks. 1 http://www.kompasiana.com/liafitnadia/wacana-menristek-opsionalkan-skripsi-kabar-gembirabagi-mahasiswa-s1_556280d3339373e03c6d0054 2 www.babel.antaranews.com Tanggapan yang selaras untuk tidak setuju dengan adanya wacana tersebut adalah datang dari Ketua Komisi V Bidang Kesejahteraan Masyarakat DPRD Sumatera Barat yakni Bapak Mohklasin mengatakan bahwa untuk saat ini Indonesia masih memerlukan skripsi sebagai tugas akhir untuk mahasiswa setingkat S13 . Beliau juga menambahkan jika skripsi tidak lagi dijadikan syarat mahasiswa setingkat S1 untuk mendapatkan ijazah dan gelar maka nanti dikhawatirkan akan membawa dampak kurang baik. Menurutnya, apabila ingin memperbaiki pembelajaran selama ini, bukan malah menghapus salah satu sistemnya, namun lebih kepada memperbaiki sistem- sistem yang sudah ada sehingga mampu berjalan lebih baik dan pada tempatnya, karena dengan penghapusan salah satu sistem tersebut yakni tidak mewajibkan skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan tidak akan menyelesaikan masalah pendidikan yang dihadapi justru nantinya ini akan menambah masalah. Penghapusan skripsi sejatinya merupakan isu lawas yang sempat menjadi perbincangan atau buah bibir di kalangan masyarakat terutama kalangan mahasiswa sekitar tahun 1997 silam4 . Sekali lagi wacana ini lantas juga sesekali timbul-tenggelam pada tahun berikutnya. Jika kita mau mengkritisi wacana ini lebih dalam, alasan yang digelontorkan Kemenristekdikti untuk memunculkan wacana tersebut adalah tidak logis. Mengapa ? ini jawabannya alasan opsi mengerjakan sebuah pengabdian di masyarakat menyisakan sebuah pertanyaan. Bukankah selama ini perkuliahan reguler sudah mentradisikan program seperti Praktek Kerja Lapangan atau sering disingkat PKL serta Kuliah kerja Nyata ( KKN ) yang mana ini biasanya menerjunkan para mahasiswa ke tengah masyarakat daerah sebagai bentuk realisasi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Begitu juga dengan pilihan membuat laporan penelitian di laboratorium, bagaimanapun wujudnya, ketika skrispsi pada dasarnya juga sebentuk laporan penelitian. Jika tanpa adanya alasan yang rinci, hanya akan bersifat mengutak- atik istilah belaka, tanpa memunculkan perbedaan mendasar serta tidak memberikan manfaat yang signifikan. 3 trendenzia.com 4www.kompasiana.com/bairuindra/dosen-pembuat-skripsi-refleksi-penghapusanskripsi Seorang mahasiswa semester VIII di salah satu perguruan tinggi yang bernama Faris Saputra Dewa, juga memberikan penilaian bahwa mengopsionalkan skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan merupakan kehancuran perguruan tinggi. Ia mengatakan bahwa memang banyak rupiah yang harus digelontorkan untuk penyelesaian sebuah skripsi. Menurutnya, ini adalah pertimbangan yang matang, namun inilah perjuangan dari sebuah kesabaran. Banyak hal yang dapat dijadikan dengan adanya kesungguhan ketika mengerjakan skripsi. Skripsi tidak hanya menguji mental namun juga menguji penghematan. Saat orang tua mengurangi kiriman uang bulanan, mahasiswa yang sedang skripsi mau tidak mau harus berhemat, mengerjakan skripsi sebagus mungkin menurut pemahamannya sehingga tidak banyak coretan dan mengurangi kertas maupun tinta printer. Skripsi membuat hidup tahan banting. Namun terlepas dari pro dan kontra opsional skripsi sebagai syarat kelulusan ini, pekerjaan rumah yang mesti dilaksanakan dengan segera oleh Kemeristekdikti adalah dosen- dosen pembuat skripsi yang berkeliaran di daerah- daerah. Fenomena semakin banyaknya kampus di daerah ( kabupaten / kota ) justru menjadi boomerang bagi mahasiswa dan dosen. Mahasiswa ingin serba praktis sedangkan dosen ingin meraup keuntungan sebanyak- banyaknya. Maka jadilah skripsi mahasiswa yang seperti ini sebagai salah satu ajang termenarik untuk mengumpulkan pundi- pundi amal kebaikan di dunia. Kendati tak dipungkiri anggapan skripsi adalah momok yang menakutkan oleh kebanyakan mahasiswa. Hal itu sebenarnya bukan karena skripsinya, tetapi karena kebiasaankebiasaan yang dibangun, sengaja atau tidak, berawal dari paradigma maupun sikap mahasiswa dan tak jarang pula dosen sendiri. Lalu hal yang seperti itulah terpelihara budaya yang buram. Terkadang dosen pembimbing skripsi terkesan dengan sengaja mempersulit proses penulisan skripsi mahasiswanya, semisal terlalu mempersoalkan hal- hal yeknis bukan substansi kajiannya. Fakta tersebut yang berkaitan pula dengan sikap mahasiswa yang cenderung takut dan pasrah ketika bahan skripsinya dipersoalkan oleh dosen pembimbingnya. Ironis memang ketika skripsi menjadi bagian peneguhan sikap kritis mahasiswa, tetapi justry menumpulkannya. Disini yang perlu dipahami sekarang adalah skripsi bukan semata beban atau bahkan ujian berat mahasiswa, tetapi sesungguhnya tanpa disadari sekaligus dapat menguji peningkatan dosen. Pada akhirnya, jalan terbaik untuk permasalahn ini adalah tetap mewajibkan skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa dengan mengenyampingkan alasan Kemeristekdikti tentang mengopsionalkan skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan. Sejatinya alasan yang dikemukakan oleh Kemeristekdikti hanyalah penggunaan dan kepekaan istilah yang menimbulkan berbagai penafsiran dikalangan masyarakat padahal alasan itu memang sudah terdefinsi dalam Tridharma Perguruan Tinggi sendiri.
JAKARTA - Ganti menteri, ganti kebijakan. Itu yang terjadi di negeri ini. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) berencana menelurkan kebijakan baru. Yakni tidak mewajibkan penulisan skripsi sebagai syarat kelulusan program sarjana (S1). Motivasinya untuk menekan potensi kecurangan penyusunan tugas akhir itu.

Rencana skripsi bukan kewajiban lagi itu, disampaikan langsung Menristekdikti Muhammad Nasir di rumah dinasnya komplek Widya Candra, Jakarta tadi malam. Menurut mantan rektor Universitas Diponegoro (Undip), penulisan skripsi sedang dikaji menjadi syarat opsional saja untuk lulus sarjana.

"Sebagai gantinya nanti mahasiswa yang akan lulus akan diberikan pilihan-pilihan," ujar Nasir. Opsi untuk lulus selain menyusun skripsi adalah, mengerjakan pengabdian ke masyarakat atau laporan penelitian di laboratorium.

Sejak masih aktif di kampus dulu, Nasir sudah paham dengan kenakalan mahasiswa dalam bentuk membeli skripsi. Atau membayar jasa penyusunan skripsi. Nasir mengakui bisa mendeteksi apakah skripsi yang sedang dia uji itu dibuat sendiri atau hasil buatan orang lain.

"Saya tanya sebelum ujian. Skripsi ini beli atau buat sendiri. Kalau tidak mengaku saya putuskan tidak lulus," ujarnya. Tetapi jika mahasiswa itu mengakui skripsinya hasil beli, maka diberi kesempatan untuk membuat skripsi dengan jujur satu kali lagi.

Praktek jasa pembuatan skripsi ini dimulai dari aturan lulus S1 wajib menyusun skripsi. Kemudian ada mahasiswa yang malas atau kesulitan menyusun skripsi. Lalu kondisi ini dibaca oleh pihak-pihak yang ingin merengkuh keuntungan. Yakni dengan membuka jasa pembuatan skripsi.

"Selama ada demand (permintaan, red) dari mahasiswa yang malas, supply (penawaran, red) jasa pembuatan skripsi akan terus ada," ujarnya. Nah untuk memotong mata rantai itu, muncul rencana kebijakan syarat lulus tidak musti menyusun skripsi.

Diharapkan mahasiswa yang lebih jago penelitian laboratorium, tidak merasa dipaksa untuk menyusun skripsi. Begitu pula mahasiswa yang cenderung memilih pengabdian masyarakat, tidak perlu harus menyusun skripsi.
Apalagi proses kuliah selama ini terkait dengan tridharma pendidikan tinggi. Yang terdiri dari pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Nasir juga menyinggung tentang keberadaan ijazah palsu. Dia menuturkan sepekan ke depan Kemenristekdikti akan mengklasifikasikan perguruan tinggi berstatus non aktif atau aktif. Sehingga masyarakat tidak salah pilih. Selain itu Nasir juga mengatakan akan membentuk satuan tugas penanganan ijazah palsu. (wan)



Blog Archive

Most View